Dalam rangaka memperingati hari Pahlawan yg tepat jatuh pada tanggal 10 november ini, sebagai salah bagian dr rakyat suroboyo; saya pun ingin turut andil dalam merayakannya. sederhana saja saya ingin mencicipi berbagai kuliner yang hampir punah di kota pahlawan ini. pertama saya ingin mencicipi PECEL SEMANGGI Suroboyo. Ya, berbicara tentang pecel semanggi suroboyo ini adalah salah satu makanan yg sudah hampir punah sebagai makanan khas surabaya karena sulit ditemui. Penjualnya rata-rata adalah ibu-ibu paruh baya yang berdagang keliling dengan menyunggi besek berisi bahan-bahan pecel. Kendala utama sih di faktor bahan dasarnya, yaitu daun semanggi.
Konon makanan ini juga sudah merambah restoran dan hotel-hotel, namun menurut saya, lebih mantab kalo kita mencicipinya langsung dari penjual tradisional.
Seperti namanya, pecel ini berbahan dasar daun semanggi (Marsilea crenata) yang direbus dan disajikan dengan kecambah rebus kemudian disiram bumbu yang terbuat dari ketela rambat atau ubi jalar (Ipomoea batatas) yang direbus dan dicampur gula jawa, garam, terasi, petis udang (makanya warna bumbunya berwarna hitam), sedikit kacang tanah, dan cabai.
Pecel ini disajikan tanpa nasi, hanya sayur semanggi dan kecambah disiram bumbu yang disajikan di dalam pincuk daun pisang. Untuk memakannya, kita wajib dan fardhu menggunakan kerupuk puli yang terbuat dari beras (di beberapa daerah di Jawa kerupuk ini disebut dengan kerupuk gendar).
Kerupuk puli ini berfungsi menggantikan sendok. Kalo cara saya makan, kerupuk dicuil kemudian cuilan ini digunakan untuk menyendok sayur dan dimakan bersama. Kerupuk ini sangat lebar sehingga kita harus berhati-hati membawanya supaya tidak jatuh (karena biasanya disajikan di samping pecel).
Secara penampilan, pecel semanggi memang “kurang menggiurkan”, namun secara rasa, woohh! Seddap!!
Makanan ini biasa dijual dengan berkeliling. Si penjual biasanya berteriak, “seemmmaannnggiiiiiii…”, dengan nada tertentu untuk menjajakan dagangannya.
Karena sulitnya bahan baku daun semanggi, penjual ini waktu berjualannya tidak menentu. Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Para penjual ini kebanyakan berasal dari daerah Benowo, Surabaya bagian barat. Daun semanggi yang digunakan pun bukan daun semanggi liar (yang biasa tumbuh di sungai dan sawah), tapi dibeli dari seseorang yang membudidayakan semanggi ini, begitu menurut pengakuan si penjual. ketika saya sedang memebeli semanggi yg kebetulan lewat depan rumah saya.
Bila diperhatikan, gaya penjual pecel semanggi ini sangat khas. Ibu-ibu ini selalu menggunakan kebaya plus kain batik, kemudian sebuah selendang dililit sedemikian rupa di atas kepala yang berfungsi sebagai alas ketika dagangan disunggi.
Formasi dagangan ketika disunggi pun sangat khas. Sebuah besek atau keranjang berisi sayur dan bumbu berada di bawah, kemudian di atasnya ditumpangkan seplastik besar kerupuk puli.
Tangan satu memgang dagangan di atas kepala, tangan yang lain menenteng keranjang yang berisi daun-daun pisang untuk pincuk dan gear lainnya. Tentu dibutuhkan keseimbangan yang luar biasa sehingga dagangan ini tidak tumpah.
Ketika ada pembeli, dengan suatu teknik yang sigap, keranjang yang menjulang tinggi di atas kepala ini bisa “mendarat” dengan sempurna. Sebaliknya, ketika selesai melayani, keranjang dagangan ini pun bisa dengan cepat berpindah ke atas kepala! WOW
Semoga kita bisa selalu melestarikan budaya warisan Kuliner Indonesia salah satunya makan khas Surabaya ini PECEL SEMANGGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar